Nuni's Blog

Sesungguhnya manusia bisa merubah kehidupan mereka dengan merubah cara berpikir mereka

Obligasi Syariah Oktober 23, 2009

Filed under: Dunia Ekonomi — nuninurwidya @ 7:50 am
Tags:

Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. (Fatwa DSN N0. 32/DSN-MUI/IX/2002

Obligasi Syariah

Dalam perdagangan obligasi syariah tidak boleh diterapkan harga diskon atau harga premium yang lazim dilakukan oleh obligasi konvensional. Prinsip transaksi obligasi syariah adalah transfer service atau pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil, sehingga jual beli obligasi syariah hanya boleh pada harga nominal pelunasan jatuh tempo obligasi.Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.Penerapan obligasi syariah menggunakan akad antara lain; akad musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, harus memenuhi beberapa persyaratan: Pertama, aktivitas utama (core business) yang halal, sesuai yang telah digariskan oleh DSN-MUI, yaitu (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat. Kedua, peringkat investment grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik.Untuk menghindarkan bentuk pendanaan (financing) dan investasi (investment) yang berkenaan dengan riba, obligasi syariah dapat memberikan:a. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah. Karena akad mudharabah/musyarakah merupakan bentuk kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.b. Prinsip margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istisna atau ijarah. Dengan akad-akad tersebut sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return. Di Indonesia penerbitan obligasi syariah umumnya menggunakan akad mudharabah. Prinsip-prinsip pokok dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah dapat di lihat pada hal-hal sebagai berikut:1. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.2. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA).3. Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.4. Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten. 5. Pembagian hasil pendapatan ini keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan).6. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.Landasan Dasar Obligasi Syariah1. Firman Allah Swt:Al-Baqarah ayat 275 “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” Al-Mujamil ayat 20“Dan sebagian mereka berjalan di muka bumi mencari karunia Allah”2. Sabda Nabi Muhammad Saw:“Abu Rafi’i r.a., meriwayatkan bahwasannya Nabi Muhammad Saw pernah meminjam seekor unta betina yang masih kecil dari seorang sahabat. Lalu (kata Abu Rafi’i) aku sampakan kepadanya tentang waktu pembayaran hutangnya. Dan Rasulullah pun memerintahkan Abu Rafi’i untuk segera membayarkan hutang Nabi itu unta yang sepadan dengan yang dipinjamnya. Abu Rafi’i mengatakan: aku tidak menemukan unta kecuali untuk yang cukup besar dan sangat bagus. Maka Rasulullah Saw bersabda: berikanlah unta yang bagus itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik membayar hutangnya”. (HR. Imam Muslim)“Tiga bentuk usaha yang di dalamnya mengandung barakah: yaitu jual-beli secara tangguh, mudharabah/kerja sama dalam bagi hasil dan mencampur gandum dengan kedelai (hasil keringat sendiri) untuk kepentingan keluarga bukan untuk di jual. (HR. Ibnu Majah)Abi Darda r.a., “Sungguh jika aku dipinjami dua dinar emas, lalu dibayarkan kembali (kepadaku). Kemudian aku meminjam lagi (kepada orang lain) niscaya aku lebih mencintai meminjamkannya dari pada aku mensedekahkannya. Karena meminjamkan itu dapat memberi kemudahan kepada saudara semuslim serta dapat memenuhi/menolong kebutuhannya. Meminjamkan itu sunnah seperti sedekah, namun ia tidak wajib”.3. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah.Perbedaan Obligasi Syariah dan Obligasi KonvensionalSecara prinsipil perbedaaan antara obligasi syariah dan obligasi konvensional seperti halnya bisnis syariah lainnya, dimana prinsip-prinsip syariah menjadi acuan dasar yang harus diikuti. Diantaranya perbedaan tersebut dapat diketahui; pertama, dari sisi orientasi, obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya semata. Tidak demikian bagi obligasi syariah, disamping memperhatikan keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi harus pada produk-produk yang sesuai dengan prinsip syariah. Kedua, obligasi konvensional, keuntungannya di dapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan obligasi syariah keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee yang ditetapkan ataupun dengan sistem bagi hasil yang didasarkan atas asset dan produksi.Ketiga, obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan ke pasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi konvensional tidak terdapat akad di setiap transaksinya. Secara jelas aturan bagi investasi ke dalam bentuk obligasi syariah tidak dibenarkan kepada transaksi yang dilarang, baik investasi tersebut pada barang yang bersifat subhat ataupun makruh. Tidak dibenarkan jika bentuk investasi tersebut pada perusahaan yang telah memproduksi barang-barang yang dilarang, misalnya, perusahaan yang memproduksi minuman keras, atau perusahaan yang memproduksi rokok yang dimakruhkan.
Wallahua’lam bishawab!

Obligasi Syariah

Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk yang memiliki arti yang sama dengan sertifikat atau note. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.

Pengertian

Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta Kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.
Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap diatas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi Pemerintah Amerika yang disebut “U.S. Treasury securities” diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut “surat utang” dan utang dibawah 1 tahun disebut “Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang diterbitkan oleh pemerintah yang disebut dengan Surat Utang Negara (SUN) dan utang dibawah 1 tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN)
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah. Sebenarnya obligasi yang tidak dibenarkan itu adalah obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar bunga (sistem riba).
Di dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk. Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan harus dipenuhi, yakni aktivitas utama (core business) yang halal, dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN.

Ketentuan Obligasi Syariah

Ketentuan Umum:
Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Ketentuan Khusus
Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
Musyarakah
Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah
Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.

Skema Bagi Hasil
Obligasi Konvensional
Pendapatan atau imbal hasil atau return yang akan diperoleh dari investasi obligasi dinyatakan sebagai yield, yaitu hasil yang akan diperoleh investor apabila menempatkan dananya untuk dibelikan obligasi. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi obligasi, investor harus mempertimbangkan besarnya yield obligasi, sebagai faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan diterima.
Ada 2 (dua) istilah dalam penentuan yield yaitu current yield dan yield to maturity.
Currrent yield adalah yield yang dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun terhadap harga obligasi tersebut.
Current yield = bunga tahunan
harga obligasi
Contoh:
Jika obligasi PT XYZ memberikan kupon kepada pemegangnya sebesar 17% per tahun sedangkan harga obligasi tersebut adalah 98% untuk nilai nominal Rp 1.000.000.000, maka:
Current Yield = Rp 170.000.000 atau 17%
Rp 980.000.000 98%
= 17.34%
Sementara itu yiled to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang akan diperoleh investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Formula YTM yang seringkali digunakan oleh para pelaku adalah YTM approximation atau pendekatan nilai YTM, sebagai berikut:
YTM approximation = C + P – R
n x 100%
P + R
2
Keterangan:
C = kupon
n = periode waktu yang tersisa (tahun)
R = redemption value
P = harga pembelian (purchase value)
Contoh:
Obligasi XYZ dibeli pada 5 September 2003 dengan harga 94.25% memiliki kupon sebesar 16% dibayar setiap 3 bulan sekali dan jatuh tempo pada 12 juli 2007. Berapakah besar YTM approximationnya ?
C = 16%
n = 3 tahun 10 bulan 7 hari = 3.853 tahun
R = 94.25%
P = 100%
YTM approximation = 16 + 100 – 94.25
3.853
= 100 + 94.25
2
= 18.01 %
Obligasi Syariah
Melalui fatwanya, DSN sebenarnya mengkategorikan tiga jenis pemberian keuntungan kepada investor pemegang Obligasi Syariah. Yaitu, pertama adalah berupa bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah. Kedua, keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam atau Istishna. Dan ketiga, berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad Ijarah. Pada prinsipnya, semua Obligasi Syariah adalah surat berharga bukti investasi jangka panjang yang berdasarakan prinsip syariah Islam. Namun yang membedakan adalah akad dan transaksinya.

Adapun transaksi sukuk yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

Obligasi Mudharabah

Dimana obligasi mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah di ketahui dengan jelas. Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku mudharib (pegelola dana) dan investor bertindak selaku shahibul mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang, lebih lanjut, Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.
Contoh:
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan.

Obligasi Ijarah

Dimana obligasi ijarah memakai akad sewa menyewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan
Contoh:
Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.

Harga Obligasi

Konvensional

Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi dinyatakan dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal.
Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:
Par (nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta.
at premium (dengan Premi) : Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta
at discount (dengan Discount) : Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49 juta.
Namun yang terpenting adalah, instrument bunga (interest instruments) sangat mempengaruhi permintaan obligasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin sedikit orang (calon investor) membeli obligasi, tetapi semakin rendah suku bunga, maka semakin banyak orang (calon investor) yang akan berinvestasi dengan membeli obligasi.

Obligasi Syariah

Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya (at maturity par value) di pasar perdana. Landasan syariah dari obligasi ini antara lain berdasarkan hadist Mudharabah yang diriwayatkan oleh Suhaib Ar Rumi (H.R. Ibnu Majah). Pada prinsipnya mudharib memiliki kewajiban finansial kepada shahibul maal, untuk mengembalikan pokok penyertaan ditambah bagi hasil dari keuntungan. Peluang mendapatkan bagi hasil inilah, oleh shahibul maal bisa dialihkan ke pihak lain melalui mekanisme al Hawalah (pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil).
Mekanisme al Hawalah ini bisa menjadi dasar transaksi mudharabah bond di pasar sekunder. Landasan syariahnya antara lain H.R. Imam Bukhari dan Muslim: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu / kaya, maka terimalah hawalah itu.” Dalam kaitan ini mayoritas ulama sepakat membolehkan al Hawalah pada satu bentuk kewajiban finansial. Atas dasar landasan syariah al Hawalah, maka di pasar modal syariah tidak ada transaksi yang bisa dikategorikan jual beli murni setelah perdananya. Karena sebagian besar ulama telah mengharamkan Bai’ Al Dayn (the sale of payable right raises from transaction), yang berarti melarang untuk diperjualbelikan utang piutang secara tangguh. Yang bisa dilakukan oleh pemegang obligasi syariah (Shariah bonds holders) adalah meng-hawalah-kan syariah bonds-nya untuk mendapatkan dana segar sebesar maturity par value-nya, dengan melakukan perjanjian revenue sharing atas initial revenue sharing yang diperoleh dari penerbit syariah bonds.
Dengan demikian syariah bonds sebaiknya dikeluarkan atas nama, bukan atas unjuk. Pendekatan lain yang kini tengah dibahas oleh para ahli fiqih dan ahli keuangan syariah adalah membeli utang secara tunai (karena yang dilarang adalah membeli utang secara tangguh). Salah satu di antara skema yang tengah dikembangkan adalah lembaga keuangan tertentu menjual metal kepada bond holders dengan mempergunakan obligasi syariah itu sebagai proceednya. Harga yang disepakati sesuai dengan harga nominal (par value obligasi tersebut). Dalam transaksi ini tidak terjadi diskon atau mark down dari nilai obligasi karena hal ini bisa menjadi pintu belakan bagi riba nasi’ah. Lembaga keuangan mendapat keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual metal tersebut
sumber: Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk yang memiliki arti yang sama dengan sertifikat atau note. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.

dikutip dari : http://3kh4.wordpress.com/

Obligasi Syariah Masih Bermasalah
Obligasi ijarah masih salah kaprah. Sebagian besar praktik obligasi syariah yang dikeluarkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia masih mengalami masalah. Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Iwan P Pontjowinoto mengatakan kesalahan itu kemungkinan karena ketidaktahuan pengusaha dan pihak yang terkait dengan penerbitan obligasi.

Obligasi ijarah masih salah kaprah. Sebagian besar praktik obligasi syariah yang dikeluarkan oleh beberapa perusahaandi Indonesia masih mengalami masalah. Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Iwan P Pontjowinoto mengatakan kesalahan itu kemungkinan karena ketidaktahuan pengusaha dan pihak yang terkait dengan penerbitan obligasi. ”Tapi ada juga penerbitan obligasi yang sesuai dengan prinsip Islam,” kata Iwan kepada Republika akhir pekan silam.

Obligasi yang sesuai dengan prinsip Islam antara lain yang diterbitkan BSM dan Bukopin.
Iwan mengatakan kejanggalan di penerbitan obligasi ini berpangkal pada ketidakpahaman semata. ”Jika ada cara yang lebih benar mengapa menggunakan cara yang salah,” ujarnya lagi. Penerbitan obligasi syariah memang tengah marak. Pengusaha melihat potensi overlikuiditas sebagai pasar untuk memasarkan obligasi. ”Pengusaha butuh dana besar.

Sementara di satu sisi ada overlikuiditas di bank syariah. Ini semacam simbiosis mutualisme,” Hanya saja, menurut Iwan praktiknya disayangkan karena masih menggunakan pola yang kurang baik. Beberapa obligasi yang tampak janggal adalah obligasi mudharabah (bagi hasil) dan ijarah (sewa-menyewa) yang belakangan marak dipraktikkan. Obligasi mudharabah PT Indosat, obligasi ijarah PT Citra Sari Makmur dan obligasi ijarah PT Matahari Putra Pirima termasuk yang masih memiliki kejanggalan.

Dalam kasus obligasi mudharabah Indosat misalnya. Iwan menjelaskan obligasi mudharabah tergolong 100 persen pembiayaan (financing). Artinya projek yang dibiayai dengan obligasi harusnya hanya mendapatkan dana dari penerbitan obligasi mudharabah saja dan tidak lainnya. Sedangkan pada kasus Indosat, proyek yang dibiayai mengambil juga dana dari lainnya.
”Obligasi ijarah kita juga masih salah kaprah,” kata Iwan. Praktik obligasi ijarah yang benar adalah pemilik gedung membutuhkan dana untuk membangun sebuah bangunan. Dana pembangunan gedung diperoleh dari obligasi.

Bangunan yang telah jadi kemudian disewakan kepada pihak lain. Hasil sewa itulah yang digunakan untuk memberikan return kepada pemegang obligasi. Dalam praktik konsep ini kerap dilanggar. PT Matahari Putri Prima misalnya. Pembangunan gedung dilakukan oleh
Matahari. Penyewanya pun Matahari. ”Ini bisa menimbulkan penyelewengan,” tandas Iwan lagi. Sebab tidak mustahil terjadi penyimpangan biaya sewa. Misalnya nilai sewa yang lebih besar bila bangunan tersebut digunakan penyewa lain.
Selain itu, tidak seluruh nilai sewa dibayarkan sebagai return. Dalam kasus ijarah, return dibagikan kecil dulu kemudian pada akhirnya (mature) baru diberikan nilai yang besarnya.
Nilai sewa yang dibayarkan penyewa gedung akan dibagi dua yakni untuk return dan kemudian sinking fund (pooling dana) sebagai pembayaran kembali face value (nilai akhir) obligasi.
Obligasi ijarah yang diterbitkan CSM juga mengalami kekurangan karena hasil dari obligasi digunakan untuk menutup utang lama Rp 250 miliar dan sisanya untuk modal kerja. Iwan mengatakan seharusnya dalam kasus seperti ini CSM menerbitkan obligasi. Dana ini kemudian diserahkan kepada lembaga khusus (SPV) untuk membeli aset CSM.

Penjualan aset digunakan SPV untuk menebus aset. Kemudian aset tersebut disewakan kepada CSM yang akanmembayar biaya sewa untuk rate of return. Di antara beberapa obligasi yang diterbitkan, obligasi bank syariah Mandiri dan Bukopin, mejurut Iwan, merupakan yang
paling benar. Kendati rates of return yang diberikan bervariasi, secara akad dan perhitungan obligasi mudharabah bank syariah mandiri tidak mengalami masalah.

Sementara obligasi syariah Bank Muamalat Indonesia sedikit mengalami masalah karena obligasi tersebutdikategorikan sebagai obligasi subordinasi. Sedangkan dari sisi perhitungan rate of return BMI mengambilnya dari nisbah revenue sharing dan bukan net income after tax. Dengan nisbah 91:9 untuk pemilik dana, maka rate of return yang diberikan BMI (dari revenue sharing) menjadi terlalu besar. ”BMI tidak salah. Tapi kok besar sekali mereka memberikan return-nya.

Sumber: islamiy.net
Musholla Al-Barokah

Kriteria Pringkat Obligasi Syariah Bursa Efek Indonesia Harus ‘Investment Grade’

Penerbitan instrumen obligasi berbasis syariah di pasar modal Indonesia memang relatif masih sedikit dibandingkan dengan obligasi konvesional. Jumlahnya issuer-nya masih bisa dihitung dengan jari. Relatif kecilnya obligasi syariah yang kini dicatatkan di Bursa Efek Indonesia ini lantaran ketatnya aturan yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Dari sisi rating misalnya, obligasi syariah harus memiliki rating yang tinggi, benar-benar investment grade. Hal itu ditandai dengan fundamental keuangan dan usaha yang kuat, serta memiliki citra yang baik di hadapan publik. Kalau hal itu bisa terpenuhi sudah barang tentu perusahaan tersebut bisa menerbitkan obligasi syariah, surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah.

Obligasi syariah sebagai salah satu instrumen efek yang kini juga digemari, dipastikan juga akan banyak meluncur pada tahun ini. Bahkan pemerintah sendiri merencanakan akan menerbitkan surat utang negara berbasis syariah (Sukuk) juga pada tahun ini.

Sementara itu dari sisi pasar, produk obligasi pada tahun ini juga kekurangan pasokan, menyusul sejumlah obligasi akan jatuh tempo dengan nilai yang juga besar sekitar Rp 25 triliun. Karena peluang emiten untuk menerbitkan obligasi, baik obligasi konvesional maupun obligasi syariah lumayan besar. Tapi ingat, untuk obligasi syariah aturannya lumayan ketat, di samping harus investment grade, perusahaan yang akan menerbitkan obligasi core business-nya harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Menurut Dewan Syariah Nasional, obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
PemeringkatanProses pemeringkatan merupakan sebuah penilaian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pemeringkatan (rating agency) atas sebuah perusahaan. Proses pemeringkatan ini wajib dilakukan bagi perusahaan yang akan menerbitkan surat utang, apakah surat utang konvensional maupun surat utang yang berbasis syariah. Dalam pemeringkatan itu rating agency tersebut akan melakukan penilaian mengenai kemampuan perusahaan yang menerbitkan obligasi dalam menyelesaikan utang-utangnya di masa yang akan datang. Penilaian meliputi operasional perusahaan dan reputasi manajemen, laporan keuangan, prediksi keuangan di masa datang, serta sejumlah informasi penting lainnya juga tak luput dari penilaian.

Dari penilaian tersebut maka perusahaan rating itu akan mengeluarkan hasil penilaiannya. Kalau tidak sesuai dengan kriteria investment grade dengan demikian perusahaan yang akan menerbitkan obligasi tersebut bisa membatalkan rencananya, atau bisa juga memperbaiki. Dalam konteks obligasi syariah tahapan proses pemeringkatan seperti itu juga tak luput mereka lalui.

Di samping pemeringkatan tersebut, bisnis yang dijalankan perusahaan yang menerbitkan obligasi tersebut harus yang memenuhi kriteria prinsip-prinsip syariah yang ditetapkan oleh DSN, seperti tidak riba, bukan perusahaan minuman terlarang. Akibatnya, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah.

Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi: Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa DSN itu. Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut antara lain menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya:
(i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
(ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
(iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram;
(iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yg merusak moral dan bersifat mudarat.

Peringkat investment grade:
(i) memiliki fundamental usaha yang kuat;
(ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat;
(iii) memiliki citra yang baik bagi publik.

Investment GradeKenapa perusahaan yang akan menerbitkan obligasi harus yang masuk kriteria investment grade, tidak lain adalah untuk memenuhi prinsip syariah itu sendiri. Terlebih lagi obligasi syariah yang ada di Indonesia ditetapkan dalam dua skema yaitu Obligasi Syariah Mudharabah dan Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi Syariah Mudharabah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad bagi hasil sedemikian sehingga pendapatan yang diperoleh investor atas obligasi tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten. Obligasi Syariah Ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad sewa sedemikian sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diketahui/diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.

Kedua obligasi syariah tersebut secara kasat mata merupakan obligasi yang pendapatan dan pengembaliannya cukup pasti. Baik pendapatan secara bagi hasil maupun sewa menyewa yang tertuang dalam obligasi ijarah tersebut. Atas dasar itu, untuk menerbitkan obligasi syariah harus benar-benar bisa memenuhi seluruh kewajiban yang dibuat ketika akad penerbitan obligasi dibuat. Dengan kata lain, hal itu harus ditandai dengan tingginya hasil rating, alias masuk kriteria investment grade.

Pertanyaanya seperti apa obligasi tersebut bisa dikategorikan sebagai investment grade (layak investasi)? Memang masing-masing perusahaan rating memiliki aturan main sendiri dalam menilai sebuah perusahaan masuk kategori investment grade atau tidak. Boleh jadi bagi satu perusahaan rating, dalam melakukan pemeringkatan atas perusahaan yang sama boleh jadi hasilnya berbeda. Yang membedakan hasilnya sudah barang tentu adalah gaya kerja mereka melakukan pemeringkatan. Tapi bagaimapun juga dengan hasil rating AAA yang diperoleh sebuah perusahaan tentunya akan berbeda kemampuannya membayar utang dengan perusahaan yang memperoleh rating dengan hasil rating CCC misalnya. Perbedaan hasil rating tersebut dengan sendirinya akan berdampak pada penawaran bagi hasil dan penjualan dari masing-masing obligasi tersebut. Untuk itu Fatwa DSN menetapkan untuk menerbitkan obligasi syariah ratingnya harus benar-benar tinggi.

Untuk menjawab seperti apa obligasi tersebut dikatakan sebagai instrumen surat utang yang layak investasi (investment grade) ada baiknya kita melihat kriteria hasil rating yang dikeluarkan oleh dua perusahaan peringkat utama dunia, yakni Standard & Poors dan Moody’s. Bagi Standard & Poors, hasil peringkat yang very high quality (sangat layak investasi) dengan hasil pemeringkatan AAA dan AA. Sedangkan kode yang dikeluarkan oleh Moody’s untuk kualitas investasi yang sama kodenya adalah Aaa dan Aa.

Sedangkan untuk kualitas tinggi (high quality), Standard & Poors memberikan kode A hingga BBB, dan Moody’s memberikan kode antara A dan Baa. Untuk hasil rating yang dinilai spekulatif, Standard & Poors memberikan kode BB hingga B dan Moody’s memberikan penilaian pada Ba hingga B. Di bawah kode tersebut, seperti CCC hingga D dan Caa hingga C dianggap obligasi yang tidak layak investasi. Jadi investment grade yang berlaku di Indonesia khususnya bagi obligasi syariah, kurang lebih sama hasil pemeringkatannya. Selamat berburu obligasi syariah.
(tim bei )
Republika, 11 Februari 2008

Mengenal Obligasi Syariah

PASAR modal syariah telah diluncurkan pada 14 Maret 2003. Muncul harapan bahwa pasar modal yang didasari prinsip-prinsip syariah dapat berkembang lebih besar lagi. Pasar modal syariah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan institusi-institusi (lembaga keuangan) syariah dan instrumen-instrumen syariah. Salah satu instrumen syariah yang diperkirakan akan berkembang pesat adalah obligasi syariah.
MEMANG terdapat keterkaitan yang erat dalam upaya pengembangan pasar modal syariah ini. Pasar, instrumen, dan institusi menjadi komponen yang saling mendukung dalam sistem keuangan. Satu institusi akan membutuhkan pasar, instrumen, dan institusi lainnya. Ketika bank syariah dikembangkan, muncullah kebutuhan untuk membuat pasar uang syariah. Pada saat reksa dana syariah dimunculkan, perlu instrumen halal untuk penyaluran penempatan portfolio-nya. Demikian juga dengan asuransi dan dana pensiun syariah. Lembaga keuangan syariah ini memerlukan bank syariah, membutuhkan pasar modal syariah dengan saham halal dan obligasi syariahnya. Ketika suatu emiten yang tercatat di bursa ingin dikatakan tergolong syariah, boleh jadi emiten tadi memerlukan obligasi syariah sebagai pendanaan alternatifnya.
Pengertian obligasi syariah
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.
Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Pada awalnya, penggunaan istilah “obligasi syariah” sendiri dianggap kontradiktif. Obligasi sudah menjadi kata yang tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk di- syariah-kan.
Namun sebagaimana pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip syariah, tetap menghimpun dan menyalurkan dana, tetapi tidak dengan dasar bunga, demikian juga adanya pergeseran pengertian pada obligasi. Mulanya dikenal sebagai instrumen fixed income karena memberikan kupon dengan bunga tetap (fixed) sepanjang tenornya. Kemudian dikembangkan juga obligasi dengan kupon bunga mengambang (floating) sehingga bunga yang diterima pemegang obligasi tidak lagi tetap. Dalam hal obligasi syariah, kupon yang diberikan tidak lagi berdasarkan bunga, tetapi bagi hasil atau margin/fee.
Menarik untuk memperhatikan bahwa Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN- MUI/IX/2002 tersebut memberikan pertimbangan awal bahwa obligasi yang selama ini (konvensional) didefinisikan masih belum sesuai dengan syariah. Karenanya, obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip syariah.
Mengapa obligasi syariah?
Dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan investasi.
Menariknya, investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapa pun, sesuai falsafah syariah yang sudah seharusnya memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian di situ!
Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan yang lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu, struktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan.
Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:
(1) Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:
(i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
(2) Peringkat Investment Grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik
(3) Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII)
Struktur obligasi syariah
Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan pengertian tersebut, obligasi syariah dapat memberikan:
(1) Bagi Hasil berdasarkan akad Mudharabah/Muqaradhah/Qiradh atau Musyarakah. Karena akad Mudharabah/Musyarakah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
(2) Margin/Fee berdasarkan akad Murabahah atau Salam atau Istishna atau Ijarah. Dengan akad Murabahah/Salam/ Isthisna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.
Di Indonesia, yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah adalah struktur Mudharabah (bagi hasil pendapatan) baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan dalam waktu dekat (lihat tabel). Sehingga, yang dikenal adalah obligasi syariah mudharabah.
Obligasi syariah mudharabah memang telah memiliki pedoman khusus dengan disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa Obligasi Syariah Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah. Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari pemilihan struktur mudharabah ini, di antaranya adalah:
(i) Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relatif panjang; (ii) Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerja ataupun pendanaan capital expenditure; (iii) Mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuatnya strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai; (iv) Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur Murabahah dan Bai bi-thaman Ajil menjadi Mudharabah dan Ijarah
Mekanisme atau beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah mudharabah ini dapat diringkaskan dalam butir-butir berikut:
(i) Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan; (ii) Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000 memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya menggunakan prinsip Revenue Sharing; (iii) Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
(iv) Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
(v) Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan); (vi) Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.
Beberapa tantangan
Obligasi syariah dinilai prospektif, tetapi menghadapi tantangan yang tak sedikit. Sosialisasi yang belum cukup. Harus diakui bahwa masyarakat kita belum begitu terbiasa dengan sistem bagi hasil maupun sistem syariah lainnya. Padahal, potensi investor obligasi syariah dari ritel tergolong besar. Hal ini dimungkinkan karena denominasi obligasi syariah yang diterbitkan bisa senilai Rp 10 juta. Sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat untuk mulai berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang, alih-alih hanya di deposito yang berjangka pendek.
Tantangan berikut menyangkut opportunity cost yang secara sederhana diterjemahkan sebagai “second best choice”. Langsung atau tak langsung ada pembandingan atas pilihan yang ada. Karena investor base obligasi syariah secara potensial sangat luas, mau tidak mau, obligasi syariah berdasarkan bagi hasil akan menghadapi ini.
Ilustrasinya, ketika obligasi syariah mudharabah ditawarkan, emiten membandingkannya dengan suku bunga pinjaman sementara investor (terutama investor konvensional) membandingkan dengan yield obligasi konvensional. Karena sistem bagi hasil ini tidak menawarkan “fixed-predetermined return”, hasilnya bisa berfluktuasi.
Misalnya suatu saat, obligasi syariah ini memberi tingkat kupon 20 persen, investor akan senang, tetapi sepertinya emiten akan merasa “kemahalan” karena membandingkan dengan pinjaman bank atau obligasi konvensional dengan bunga kupon lebih murah.
Di saat lain, obligasi syariah memberi kupon “hanya” 12 persen, emiten senang, tetapi investor akan membandingkannya dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi pemerintah, atau obligasi konvensional lainnya. Memang opportunity cost, dan penurunan kinerja pendapatan ini menjadi salah satu risiko bagi investor obligasi syariah.
Padahal, risiko investor di obligasi syariah sebetulnya mirip saja dengan investor obligasi dengan bunga mengambang. Berbedanya adalah, struktur syariah ini sesungguhnya lebih menawarkan “keadilan”.
Tantangan lain adalah menyangkut perdagangan obligasi syariah di pasar sekunder yang mengemuka kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo. Lebih banyaknya investor yang buy and hold memang akan membuat pasar sekundernya kurang likuid. Hal ini terjadi pada Obligasi Syariah Mudharabah Indosat.
Suksesnya sebuah pasar dan instrumen keuangan, baik syariah maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut.
Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, masa depan obligasi syariah masih tetap dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya.
Iggi H Achsien Head Unit Syariah AAA Sekuritas

 

Tinggalkan komentar